Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Postingan Populer

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

Prestasi Tak Selalu Diukur dengan Piala

 Oleh: Putri  Pernyataan salah satu Wakil Rektor di IAIN Parepare mengatakan, " terdapat 3 program studi di IAIN Parepare memiliki 0 pr...


 Oleh: Putri 

Pernyataan salah satu Wakil Rektor di IAIN Parepare mengatakan, "terdapat 3 program studi di IAIN Parepare memiliki 0 prestasi", dan dalah satunya ialah Prodi Pengembangan Masyarakat Islam. “Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam nol prestasi.” Kalimat singkat ini terdengar sepele, tetapi sesungguhnya mengandung bias yang dalam dan luka yang tajam. Bagaimana mungkin sebuah program studi yang lahir dari semangat pengabdian kepada umat, yang menanamkan nilai keberdayaan sosial, tiba-tiba dipukul rata dengan label kosong? Apakah kontribusi yang tidak terdokumentasi otomatis dianggap tidak ada? Ataukah kita memang sudah terlalu terjebak pada logika sempit yang hanya mengukur prestasi dengan piala dan piagam?

Sejak berdiri, Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam tidak pernah menjadikan trofi sebagai orientasi utama. Ia bukan pabrik penghasil juara lomba, melainkan kawah candradimuka yang melahirkan insan peduli, berdaya, dan siap mengabdikan diri. Mahasiswa PMI ditempa untuk turun langsung ke lapangan, menatap wajah masyarakat, mendengar keluhan mereka, dan menghadirkan solusi nyata. Itu semua adalah prestasi. Prestasi yang tidak berkilau di panggung seremonial, tetapi menyala di kehidupan nyata.

Namun sayang, dalam dunia akademik yang kian pragmatis, prestasi sering dipersempit menjadi deretan sertifikat yang dipajang indah. Padahal, tidak semua capaian manusia bisa diukur dengan itu. Ketika seorang mahasiswa PMI membantu anak-anak miskin agar tidak putus sekolah, bukankah itu prestasi? Ketika mereka memfasilitasi kelompok perempuan agar bisa mandiri secara ekonomi, bukankah itu pencapaian yang luar biasa? Bahkan ketika mahasiswa berdiri tegak dengan gagasan kritis, melawan arus pragmatisme kampus, itu pun sebuah kemenangan moral. Jika semua itu disebut “nol”, maka yang sesungguhnya nol bukanlah prestasi, melainkan cara berpikir kita.

Menyamakan prestasi dengan kompetisi adalah kekeliruan fatal. Kompetisi memang penting, lomba memang bisa memotivasi, tetapi itu bukan satu-satunya tolok ukur. Apakah perjuangan sosial bisa ditakar dengan medali? Apakah keberhasilan memberdayakan masyarakat harus selalu dicatat oleh juri? Jika ya, maka pendidikan tinggi telah kehilangan ruhnya, terjerumus menjadi panggung pamer, bukan lagi ruang pembebasan.

Yang lebih mengkhawatirkan, stigma “nol prestasi” bukan sekadar keliru secara intelektual, tetapi juga berbahaya secara psikologis. Kata-kata itu bisa menjadi racun yang meruntuhkan semangat mahasiswa, membuat dosen merasa tidak dihargai, dan pada akhirnya melahirkan atmosfer akademik yang penuh sinisme. Alih-alih mendorong produktivitas, ia justru menanamkan inferioritas. Inikah wajah pendidikan yang kita banggakan—pendidikan yang mencemooh alih-alih mengapresiasi?

Sudah saatnya kita merevolusi paradigma tentang prestasi. Prestasi bukan hanya siapa yang naik podium, tetapi juga siapa yang berani menyingsingkan lengan baju untuk bekerja di tengah masyarakat. Prestasi bukan hanya siapa yang mendapat sorak tepuk tangan, tetapi juga siapa yang rela bekerja dalam sunyi demi keberlangsungan hidup orang lain. Prestasi bukan hanya tentang nama yang tercetak di piagam, tetapi juga tentang jejak yang tercetak di hati umat.

Maka, mari kita berhenti memuja piala sebagai dewa tunggal keberhasilan. Mari kita belajar menghargai langkah-langkah kecil yang berdampak besar, meski tidak pernah masuk berita. Prestasi mahasiswa PMI adalah ketika mereka membuat masyarakat desa berani bermimpi kembali. Prestasi mereka adalah ketika orang-orang kecil merasakan manfaat dari kehadiran mereka. Prestasi mereka adalah ketika ilmu tidak berhenti di ruang kelas, melainkan hidup di jalanan, di rumah-rumah sederhana, di sawah, di pasar, di mana pun umat membutuhkan.

Label “nol prestasi” hanyalah cermin dari pandangan yang picik, pandangan yang lebih sibuk menghitung angka daripada memahami makna. Sungguh, jika ukuran prestasi hanyalah piala, maka kita sedang membesarkan generasi yang haus pengakuan, bukan generasi yang mampu memberi manfaat. Padahal, tujuan pendidikan sejati adalah memanusiakan manusia, bukan sekadar mengoleksi penghargaan.

Pengembangan Masyarakat Islam mungkin tidak berjejer piala, tetapi ia berjejer pengabdian. Ia mungkin tidak penuh piagam, tetapi ia penuh karya nyata. Dan itulah yang mestinya kita sebut sebagai prestasi. Karena pada akhirnya, sejarah tidak selalu mencatat siapa yang menang lomba, tetapi siapa yang sungguh-sungguh memberi perubahan.

Maka izinkan saya menegaskan: menyebut Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam “nol prestasi” bukan saja salah, melainkan sebuah penghinaan terhadap makna pendidikan itu sendiri. Prestasi tak selalu diukur dengan piala. Prestasi sejati adalah ketika ilmu dan pengabdian menyatu, lalu melahirkan manfaat yang hidup di tengah umat. Dan itu, justru sedang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen Pengembangan Masyarakat Islam.

Catatan: Penulis merupakan salah satu mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare memiliki prestasi di kancah Nasional dan memiliki posisi penting di Dewan Mahasiswa IAIN Parepare

Tidak ada komentar