Opini Syafa’at Anugrah Pradana Puncak pemilu serentak 2019 telah berlalu, namun bekas dari perhelatan ini memercik ke dalam bangunan kebijak...
Opini
Syafa’at Anugrah Pradana
Puncak pemilu serentak 2019 telah berlalu, namun bekas dari perhelatan ini memercik ke dalam bangunan kebijakan pemerintahan. Sebut saja kebijakan pembentukan Tim Asistensi Hukum oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto yang tersemat dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam.
Hal tersebut menuai banyak kritikan. Beberapa poin kritikan yang muncul di permukaan diantaranya, tim tersebut dibentuk setelah pelaksanaan Pemilu 2019 sehingga sarat dengan kebijakan politis, tim tersebut mengintervensi aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, kehadiran tim tersebut merupakan kemunduran demokrasi, dan sebagainya.
Penulis mencermati bahwa pembentukan Tim Asistensi Hukum Menkopolhukam merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap masyarakat guna memberikan ketenangan dalam kehidupan berwarganegara. Sehingga dalam dinamika ketatanegaraan, pembentukan Tim Asistensi Hukum ini adalah hal biasa-biasa saja.
Asistensi bukan Eksekusi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Asisten adalah orang yang bertugas membantu orang lain dalam melaksanakan tugas professional. Sedangkan Asistensi adalah kegiatan mengasisteni (membantu seseorang dalam tugas profesionalnya). Pembentukan Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam bertujuan untuk mengkaji dan membantu Kemenkopolhukam dalam hal ucapan dan tindakan yang dianggap melanggar hukum pasca pemilu serentak tahun 2019.
Jika kita menelaah tujuan pembentukan Tim dewasa ini, keberadaannya hanya sebagai pemberi pertimbangan dan masukan serta rekomendasi yang tentu melalui kajian dan penelitian guna memikirkan masa depan demokrasi Indonesia yang jauh lebih baik.
Bukan Lembaga Baru
Hal lain yang tersebar di masyarakat, bahwa seolah kehadiran Tim Asistensi ini merupakan sebuah Lembaga baru yang akan menggantikan posisi Kepolisian dan Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum. Perlu penulis sampaikan, bahwa Tim Asistensi ini hanya eksis hingga 31 Oktober 2019. Alasannya, karena memang tujuan pembentukan Tim ini hanya untuk mengamati, mempelajari dan menganalisis ucapan dan tindakan warga Negara yang dianggap sebagai riak dalam pemilu serentak 2019.
Setelah Tim ini mengamati, mempelajari, dan menganalisis ucapan dan tindakan warga Negara yang dianggap melanggar hukum, maka tugas selanjutnya adalah memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui Ketua Pengarah yakni Menkopolhukam itu sendiri. Jadi, kehadiran Tim Asistensi Hukum ini seperti keberadaan Staff Ahli Kepala Daerah dalam ranah pemerintahan daerah.
Berpikir Negarawan
Terbebas dari pandangan politis, penulis beropini bahwa momentum pembentukan Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam yang sangat erat kaitannya dengan pemilu serentak 2019 adalah hal wajar ketika masyarakat akademis maupun non akademis berpikir bahwa pemerintah memanfaatkan Tim ini sebagai tameng dalam mempertahankan kekuasaan.
Hanya saja, Apakah kita sudah kehabisan negarawan sehingga hal yang biasa-biasa saja selalu kita jadikan sebagai hal yang luar biasa? Mengapa kita tidak memikirkan hal lain seperti menyuarakan seleksi akademik terhadap para calon anggota legislatif? Ataukah kita berpikir untuk menyuarakan pentingnya wajib belajar 12 tahun bagi para generasi kita? Kesemuanya itu adalah hal yang luar biasa yang mestinya kita pikirkan bersama demi Bangsa dan Negara Indonesia untuk masa yang akan datang.*
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Tidak ada komentar