Oleh: Putri Fitriani, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare Pasca reformasi tahun 1998, telah banyak kebijakan yan...
Oleh: Putri Fitriani, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare
Pasca reformasi tahun 1998, telah banyak kebijakan yang ramah perempuan telah dihasilkan oleh DPR, mulai dari UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah, UU N0. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU No. 10 Tahun 2012 tentang Pemilu, dan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Selain di level nasional, terdapat juga sejumlah peraturan daerah (perda) yang melindungi perempuan antara lain Perda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Perda Pembebasan Biaya Akta Kelahiran, Perda Pemberdayaan Perempuan dan Perda Perlindungan Anak. Demikian halnya di tingkat eksekutif, pemerintah memiliki Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan.
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru-baru ini dibahas di parlemen bukan hanya perubahan undang-undang, tetapi juga langkah yang berpotensi menghidupkan kembali trauma yang dialami perempuan Indonesia secara kolektif. Selama sejarah panjang bangsa ini, perempuan telah menjadi saksi dan korban kekerasan dan penindasan militer. Sekarang dengan perubahan yang memungkinkan prajurit berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaan sipil, kita harus bertanya-tanya: apakah kita siap untuk kembali menghadapi keadaan buruk itu?
Dicanangkannya Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI), yang akan dibawa ke tingkat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang pada Kamis (20/03/2025), menimbulkan kekhawatiran publik akan kembalinya sejarah hitam Orde Baru.
Sebelum ini, diskusi RUU TNI yang dilakukan secara rahasia di Fairmont Hotel Jakarta pada Jumat (14/3) dan Sabtu (15/3) lalu membuat masyarakat sipil marah. Dalam Revisi UU TNI, setidaknya tiga pasal bermasalah: Pasal 3 Ayat 2 yang berkaitan dengan kedudukan TNI, Pasal 53 yang berkaitan dengan masa pensiun TNI, dan Pasal 47 Ayat 1 dan 2 yang mengatur posisi TNI dalam jabatan sipil. Ketiga pasal ini dianggap dapat mengembalikan dwifungsi TNI, menyempitkan ruang gerak TNI untuk berinteraksi dengan masyarakat sipil, dan meningkatkan kebebasan militer. Dalam konferensi pers yang diadakan oleh Aliansi Perempuan Indonesia pada Selasa (18/3) disebutkan bahwa revisi UU TNI dapat membuat militer lebih terlibat dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, terutama bagi perempuan dan kelompok rentan.
Revisi UU TNI ini memiliki dampak yang signifikan. Kebijakan ini membuka jalan bagi dominasi militer dalam jabatan sipil, yang dapat menyingkirkan perempuan dari posisi kepemimpinan, di tengah perjuangan panjang untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan birokrasi. Karena kehadiran prajurit aktif dalam birokrasi sipil akan menciptakan persaingan yang tidak adil, terutama bagi perempuan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Perempuan yang telah berusaha keras dan bersaing dalam jalur birokrasi sipil mungkin semakin terpinggirkan, dan ketimpangan dalam akses terhadap jabatan tinggi di pemerintahan mungkin semakin memburuk dengan semakin banyaknya posisi yang dapat diisi oleh anggota militer.
Selain itu, institusi militer yang selama ini mengutamakan disiplin dan kepatuhan dikhawatirkan akan membawa struktur hierarkisnya ke dalam birokrasi sipil, yang dapat menyebabkan lingkungan kerja yang semakin maskulin dan kurang inklusif bagi perempuan. Akibatnya, kebijakan yang dibuat oleh birokrasi yang diwarnai oleh nilai-nilai militerisme dapat mengabaikan perspektif dan kebutuhan perempuan.
Revisi ini dapat memperburuk keadaan sosial perempuan di daerah konflik, tidak hanya di bidang birokrasi. Sejarah menunjukkan bahwa tindakan represif terhadap warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, seringkali diikuti oleh penglibatan militer dalam konflik agraria, seperti yang terjadi di Rempang dan Merauke. Karena kurangnya mekanisme akuntabilitas di militer, kekerasan berbasis gender seringkali tidak mendapat perhatian yang cukup.
Komisi Nasional Perempuan menyatakan bahwa terdapat setidaknya 190 kasus kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan anggota TNI dari tahun 2020 hingga 2024. Ini mencakup kekerasan domestik, pelecehan seksual, dan intimidasi terhadap perempuan yang berjuang untuk hak asasi manusia. Banyak pihak khawatir bahwa dengan masuknya TNI ke ranah sipil, kekerasan terhadap perempuan akan meningkat sementara mekanisme perlindungan kurang.
Kehadiran militer di lingkungan sipil dapat menyebabkan budaya impunitas yang telah lama menjadi momok dalam masalah keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender. Penegakan hukum yang tidak berpihak pada korban akan meningkat ketika aparat yang memiliki rekam jejak buruk dalam menangani kekerasan terhadap perempuan diberi wewenang di bidang sipil. Hal ini dapat membuat korban takut untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Akibatnya, semakin banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak terungkap.
Mekanisme hukum yang tersedia bagi anggota militer yang melakukan pelanggaran terhadap warga sipil, termasuk perempuan, adalah salah satu aspek yang menarik perhatian. Anggota militer yang melakukan tindak pidana tetap diadili di peradilan militer daripada di pengadilan umum di sistem hukum saat ini. Karena prosesnya tidak transparan dan tidak ada akuntabilitas, ini sering menghambat keadilan bagi korban.
Kasus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada tahun 1965 menunjukkan bahwa militer tidak hanya menghalangi gerakan politik sipil tetapi juga menciptakan cerita yang menggambarkan perempuan sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Gerwani adalah organisasi progresif perempuan yang aktif memperjuangkan hak-hak buruh perempuan, reformasi agraria, dan kebebasan politik untuk perempuan. Meskipun demikian, militer memulai kampanye hitam yang menggambarkan Gerwani sebagai kelompok perempuan yang tidak beretika dan liar. Ribuan wanita yang diyakini memiliki hubungan dengan Gerwani ditangkap, dilecehkan, diperkosa, dan bahkan dibunuh. Orang-orang yang selamat mengalami diskriminasi yang berlarut-larut, kehilangan hak-haknya, dan dijauhkan dari kehidupan sosial dan politik. Stigmatisasi ini tidak hanya membuat organisasi Gerwani hancur, tetapi juga menanamkan ketakutan yang membuat perempuan takut untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial dan politik.
Sejak Orde Baru, indoktrinasi ibuisme negara menjadi kuat di Indonesia. Negara mendefinisikan peran perempuan sebagai ibu dan istri yang membantu negara, terutama stabilitas sosial dan ekonomi. Pembentukan organisasi Dharma Wanita dan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) adalah salah satu contoh ibuisme, yang menekankan bahwa perempuan harus membantu suami mereka dan mengelola rumah tangga daripada hanya memiliki hak ekonomi dan politik yang setara.
Program Keluarga Berencana (KB) dilaksanakan oleh militer selama Orde Baru. TNI tidak hanya bertanggung jawab untuk memantau distribusi alat kontrasepsi, tetapi mereka juga langsung terlibat dalam pemasangan alat kontrasepsi pada perempuan, yang seringkali dilakukan tanpa persetujuan penuh mereka. Pendekatan koersif ini menunjukkan bagaimana negara dapat mengontrol tubuh perempuan melalui militer. Dalam beberapa situasi, perempuan dipaksa menggunakan alat kontrasepsi tanpa diberikan informasi yang memadai atau kesempatan untuk membuat keputusan sendiri. Keterlibatan militer dalam masalah yang berkaitan dengan tubuh perempuan berpotensi mengabaikan hak asasi manusia, terutama hak perempuan untuk mendapatkan persetujuan yang diinformasikan. Jika peran militer di sektor sipil terus diperluas, ada kekhawatiran bahwa kebijakan seperti ini akan memperkuat kontrol negara atas tubuh perempuan karena struktur komando dan instruksi yang hierarkis, alih-alih memastikan akses ke kesehatan reproduksi.
Akademisi dan pengamat politik juga menentang perubahan ini. Hussein Ahmad dari Imparsial menyatakan bahwa militerisasi dalam birokrasi sipil dapat menimbulkan tekanan khusus pada masyarakat, terutama pada kelompok yang rentan seperti perempuan. Ia menekankan bahwa hak-hak perempuan yang terdampak seringkali diabaikan oleh pendekatan militeristik dalam konflik agraria. Misalnya, karena aparat keamanan hadir di Rempang Eco City, banyak perempuan yang mengalami intimidasi hingga kekerasan fisik. Pola-pola seperti ini mungkin semakin tersebar di banyak sektor kehidupan sipil jika revisi ini tetap berlaku.
Bagi perempuan Indonesia, perjuangan mereka untuk menolak revisi UU TNI adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk mempertahankan hak-hak mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Aktivis Aliansi Perempuan Indonesia (API) mengklaim bahwa perubahan ini akan mengubah bagaimana militer menguasai jabatan sipil dan meningkatkan hubungan antara kekuasaan yang otoriter dan diskriminasi gender. Pada hari pengesahan revisi ini, puluhan aktivis perempuan turun ke jalan untuk mengecam pemerintah karena mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat sipil dalam proses legislasi. Pemerintah harus membatalkan revisi ini dan memastikan bahwa kebijakan publik akan mempertimbangkan kebutuhan unik perempuan.
Revisi UU TNI tidak hanya memperkuat peran militer di ranah sipil, tetapi juga bagaimana kebijakan ini akan berdampak lama pada kehidupan perempuan Indonesia. Perjuangan perempuan untuk hak yang setara dalam berbagai sektor akan semakin sulit jika perubahan ini dilakukan tanpa pengawasan yang ketat dan mekanisme perlindungan yang jelas. Harapan untuk keadilan gender terus bergema dari berbagai bagian masyarakat, meskipun ada tantangan. Saatnya pemerintah mendengarkan suara rakyat dan menghentikan ketidakadilan struktural terhadap perempuan melalui kebijakan publik.
Tidak ada komentar