Oleh: Nur Hadija, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare Kita hidup di negara dengan sumber daya alam melimpah, jumlah pendud...
Oleh: Nur Hadija, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare
Kita hidup di negara dengan sumber daya alam melimpah, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, dan potensi ekonomi yang menjanjikan. Tapi mari kita jujur: mengapa masih banyak rakyat hidup dalam kemiskinan, pendidikan yang timpang, dan akses kesehatan yang belum merata? Jawabannya sederhana namun mendalam—karena lemahnya perencanaan sosial. Dalam banyak hal, Indonesia seperti membangun rumah megah tanpa cetak biru: penuh niat baik, tapi mudah roboh saat diterpa badai. Perencanaan sosial bukan sekadar laporan tahunan atau rencana lima tahun sekali—ia adalah fondasi dari masa depan bangsa. Dan sayangnya, selama ini perannya terlalu sering diabaikan.
Perencanaan Sosial: Apa dan Mengapa Penting?
Perencanaan sosial adalah proses sistematis untuk menentukan kebutuhan masyarakat dan bagaimana memenuhi kebutuhan itu secara adil, berkelanjutan, dan efisien. Ini mencakup segala hal—pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, hingga kesejahteraan sosial. Bukan hanya urusan akademisi atau birokrat, tapi juga menyentuh hidup setiap warga negara.
Contoh konkret? BPJS Kesehatan. Sistem ini lahir dari perencanaan sosial yang matang, meski belum sempurna. Bayangkan jika Indonesia tidak merencanakan sistem jaminan kesehatan nasional. Masyarakat miskin harus memilih antara membeli obat atau makan malam. BPJS adalah bukti bahwa ketika negara merencanakan dengan niat kolektif, hasilnya bisa menyentuh jutaan orang. Perencanaan sosial bukan sekadar konsep akademik atau rutinitas birokrasi. Ia adalah proses strategis dan berkelanjutan untuk membaca, memahami, dan menjawab berbagai tantangan nyata yang dihadapi masyarakat. Dalam perencanaan sosial, negara dan masyarakat bekerja bersama untuk mengidentifikasi apa yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat—apakah itu akses terhadap layanan kesehatan, kesempatan kerja yang layak, pendidikan yang inklusif, tempat tinggal yang manusiawi, atau jaminan sosial yang melindungi dari risiko kehidupan. Proses ini bersifat holistik dan terintegrasi, artinya tidak bisa hanya dilakukan oleh satu sektor atau kementerian saja, tetapi membutuhkan sinergi antar lembaga, antar lapisan masyarakat, dan antar generasi.
Perencanaan sosial juga harus memperhatikan tiga prinsip penting: keadilan, keberlanjutan, dan efisiensi. Keadilan berarti kebijakan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, tapi bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat—terutama mereka yang paling rentan. Keberlanjutan berarti kebijakan tersebut tidak hanya menjawab masalah jangka pendek, tapi juga memikirkan dampaknya di masa depan. Sementara efisiensi mengharuskan setiap sumber daya—baik uang, waktu, maupun tenaga—digunakan secara tepat, tidak mubazir, dan berdampak maksimal.
Contoh nyata dari hasil perencanaan sosial yang besar dampaknya bagi masyarakat adalah BPJS Kesehatan. Sistem ini adalah representasi konkret dari visi pemerintah untuk membangun jaminan kesehatan nasional yang bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang status ekonomi. BPJS Kesehatan tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan kajian akademik, perumusan kebijakan, pembahasan undang-undang, serta koordinasi lintas sektor dan lintas lembaga. Mulai dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (2004), UU BPJS (2011), hingga akhirnya peluncuran program pada tahun 2014.
Mengapa BPJS Kesehatan menjadi contoh penting dalam perencanaan sosial? Karena sistem ini menyentuh kebutuhan paling mendasar manusia: hak untuk hidup sehat dan mendapatkan perawatan saat sakit. Sebelum adanya BPJS, banyak masyarakat Indonesia—terutama di daerah pelosok dan kelompok miskin—tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang memadai. Mereka seringkali harus menghadapi pilihan tragis: menggunakan seluruh tabungan keluarga untuk biaya rumah sakit, atau membiarkan penyakit berkembang karena tidak sanggup berobat. Dalam beberapa kasus ekstrem, bahkan ada yang terpaksa menjual rumah atau hewan ternak hanya untuk membiayai operasi.
Dengan adanya BPJS, jutaan orang kini bisa berobat ke puskesmas, klinik, bahkan rumah sakit tanpa harus takut bangkrut. Data BPJS (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 200 juta warga Indonesia telah menjadi peserta aktif, dan setiap hari sistem ini melayani ratusan ribu pasien di seluruh Indonesia. Mulai dari ibu hamil yang ingin melahirkan secara aman, pasien gagal ginjal yang rutin cuci darah, hingga anak-anak yang butuh imunisasi atau pengobatan rutin.
Tentu saja, sistem ini belum sempurna. Masih ada masalah dalam pelayanan, antrian panjang, rumah sakit yang menolak pasien BPJS, atau keluhan tentang keterlambatan pembayaran dari pemerintah ke fasilitas kesehatan. Tapi hal ini justru menunjukkan bahwa perencanaan sosial bukan sekali jadi—ia adalah proses yang terus berjalan, yang harus dievaluasi, diperbaiki, dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Hal paling penting yang bisa kita pelajari dari BPJS adalah: ketika negara mau merencanakan kebijakan sosial dengan niat kolektif dan fokus pada kemaslahatan umum, hasilnya bisa sangat luar biasa. Sistem ini bukan hanya mengobati, tapi juga mengangkat martabat rakyat kecil. Ia membuat masyarakat merasa dilindungi oleh negaranya. Dan itu adalah inti dari kehadiran negara yang sebenarnya.
Bayangkan jika Indonesia tidak pernah merancang sistem jaminan kesehatan nasional. Bisa jadi, angka kemiskinan kita jauh lebih tinggi dari sekarang. Bisa jadi, ribuan orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang sebetulnya bisa ditangani, hanya karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Dalam skenario seperti itu, negara akan kehilangan kepercayaan rakyatnya, dan keadilan sosial hanya akan menjadi slogan kosong dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, perencanaan sosial tidak boleh diremehkan atau dipandang sebelah mata. Ia harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan nasional. Harus ada tim perencana yang tidak hanya pintar membaca data, tapi juga mampu mendengar suara rakyat di lapangan. Harus ada proses yang inklusif, partisipatif, dan berorientasi pada hasil nyata. Dan yang paling penting, harus ada keberanian politik untuk mengubah perencanaan menjadi tindakan, bukan sekadar dokumen indah yang tersimpan di rak kantor kementerian.
Ketimpangan yang Terjadi Karena Perencanaan yang Gagal
Coba tengok ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa angka kemiskinan di perdesaan mencapai 12,36%, sementara di perkotaan hanya 7,29%. Mengapa bisa timpang? Karena perencanaan sosial sering berfokus pada pusat—Jakarta, Surabaya, Bandung—sementara daerah tertinggal hanya jadi lampiran dalam dokumen pembangunan.
Sama halnya dengan pendidikan. Program zonasi sekolah yang sempat diluncurkan bertujuan baik, yaitu pemerataan akses pendidikan. Tapi karena perencanaan dan sosialisasi yang lemah, implementasinya justru menimbulkan kecemasan di kalangan orang tua, sekolah, bahkan siswa. Sistem gagal menyerap realitas sosial di lapangan—misalnya, soal kualitas sekolah negeri yang belum merata atau infrastruktur transportasi yang menyulitkan akses.
Tanpa Data, Perencanaan Jadi Ilusi
Fakta menyedihkan, perencanaan sosial kita masih sering tidak berbasis data akurat. Banyak kebijakan diluncurkan tanpa riset lapangan atau partisipasi masyarakat. Misalnya, pembangunan infrastruktur besar-besaran di daerah yang justru menggusur warga lokal tanpa solusi pemukiman yang layak.
Perencanaan sosial harus diawali dengan pemahaman yang benar tentang kebutuhan masyarakat. Kita tidak bisa mengandalkan asumsi elit semata. Dunia sudah bergerak ke arah kebijakan berbasis data (evidence-based policy), sementara kita kadang masih sibuk menulis laporan dengan gaya bahasa indah tapi minim fakta. Yang lebih menyedihkan dan sekaligus memprihatinkan, perencanaan sosial di Indonesia masih sering berjalan tanpa fondasi data yang akurat dan valid. Banyak kebijakan diluncurkan tergesa-gesa tanpa melalui riset lapangan yang mendalam, bahkan seringkali tanpa mendengar langsung suara masyarakat yang akan terdampak oleh kebijakan tersebut. Akibatnya, banyak program yang terlihat megah di atas kertas, tapi gagal total saat diimplementasikan di lapangan. Tidak sedikit dari mereka yang justru menimbulkan masalah baru alih-alih menyelesaikan masalah lama.
Salah satu contoh nyata adalah pembangunan infrastruktur besar-besaran di berbagai daerah—mulai dari jalan tol, bendungan, kawasan industri, hingga proyek-proyek strategis nasional. Di satu sisi, pembangunan ini memang penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi di sisi lain, ketika proses perencanaannya tidak mempertimbangkan keberadaan warga lokal, maka hasilnya adalah penggusuran massal tanpa solusi yang manusiawi. Warga yang tinggal bertahun-tahun di satu lokasi tiba-tiba harus angkat kaki karena tanah mereka terkena proyek, tanpa kepastian ganti rugi yang layak atau relokasi yang memadai. Ini bukan cerita fiksi. Ini kenyataan yang terjadi di banyak daerah—dari pinggiran kota besar sampai kampung-kampung di daerah terpencil.
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa perencanaan sosial yang tidak berbasis data dan tidak melibatkan masyarakat, justru melanggengkan ketimpangan dan menciptakan ketidakadilan baru. Pemerintah seolah tahu apa yang terbaik untuk rakyat, padahal sering kali mereka sendiri tidak pernah datang untuk sekadar bertanya: “Apa yang kalian butuhkan? Apa yang akan kalian hadapi jika proyek ini berjalan?” Perencanaan yang hanya mendengar suara dari atas dan tidak menjejakkan kaki ke bawah adalah perencanaan yang cacat sejak awal.
Padahal, dunia sudah lama beranjak ke arah kebijakan berbasis data (evidence-based policy). Negara-negara maju bahkan negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina sudah mulai memanfaatkan data real-time, survei sosial, dan pemetaan partisipatif untuk menyusun perencanaan sosial yang lebih tepat sasaran. Mereka sadar bahwa keputusan yang menyangkut hidup orang banyak tidak bisa dibuat berdasarkan intuisi, kebiasaan lama, atau perintah politis semata. Ia harus lahir dari pemahaman mendalam terhadap kondisi nyata di masyarakat.
Di Indonesia, kita masih terlalu sering terjebak pada pendekatan top-down: rencana disusun di meja kantor dengan AC dingin, lalu dilempar ke lapangan tanpa uji coba, tanpa konsultasi publik, tanpa analisis sosial mendalam. Kita masih gemar membuat laporan yang kaya dengan istilah teknis dan grafik penuh warna, tapi minim fakta lapangan dan jauh dari realitas masyarakat sehari-hari. Dalam beberapa kasus, data yang digunakan bahkan tidak diperbarui selama bertahun-tahun, sehingga kebijakan yang dihasilkan jadi tidak relevan.
Contoh lain adalah penyaluran bantuan sosial. Di atas kertas, program bantuan tampak rapi: data penerima sudah ada, jumlah bantuan jelas, mekanisme penyaluran sudah ditetapkan. Tapi begitu turun ke lapangan, ternyata data yang digunakan sudah kadaluarsa, banyak penerima ganda, atau yang benar-benar miskin justru tidak tercatat. Ini bukan hanya soal kesalahan teknis, tapi juga bukti bahwa perencanaan sosial kita sering tidak punya akar di masyarakat. Akibatnya, program yang seharusnya menolong justru memicu konflik sosial dan kecemburuan di tingkat lokal.
Oleh karena itu, perencanaan sosial harus dimulai dari niat untuk memahami, bukan sekadar merancang. Kita harus kembali ke akar: mendengar masyarakat, melakukan riset sosial, turun langsung ke lapangan, dan mengumpulkan data secara jujur dan transparan. Ini memang butuh waktu dan tenaga, tapi jauh lebih baik daripada membuat kebijakan yang sia-sia atau bahkan merusak. Selain itu, teknologi sudah ada di tangan kita—aplikasi survei digital, big data, pemetaan partisipatif—tinggal bagaimana kita mau menggunakannya secara serius.
Tak kalah penting, masyarakat juga perlu diberi ruang untuk menjadi bagian dari proses perencanaan, bukan hanya jadi objek yang menerima hasilnya. Mereka tahu persis apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak mereka butuhkan. Mereka tahu apakah proyek itu akan membawa perubahan positif atau justru menyingkirkan mereka dari tanah kelahiran sendiri. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, maka data yang dikumpulkan akan lebih kaya, lebih kontekstual, dan lebih menggambarkan realitas sebenarnya.
Singkatnya, perencanaan sosial tanpa data adalah seperti menembak dalam gelap. Hasilnya bisa meleset jauh dari sasaran, dan risikonya sangat besar: uang rakyat terbuang, masalah sosial meningkat, dan kepercayaan publik terhadap negara terus menurun. Sebaliknya, perencanaan yang berbasis data dan partisipasi akan melahirkan kebijakan yang adil, efektif, dan membumi.
Tidak ada komentar