Oleh: Nur Intan Nirwangi, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare Mengembangkan Perundang-Undangan yang Responsif Di Indones...

Oleh: Nur Intan Nirwangi, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare
Mengembangkan Perundang-Undangan yang Responsif
Di Indonesia, pengembangan perundang-undangan sering menghadapi tantangan dalam hal efektivitas dan relevansi terhadap perubahan sosial yang dinamis. Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK, 2021), salah satu masalah utama dalam proses legislasi adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap pembuatan undang-undang. Dalam laporan mereka yang berjudul "Pemetaan Kualitas Legislasi di Indonesia", PSHK mencatat bahwa "Kebanyakan perundang-undangan di Indonesia sering disusun tanpa adanya pengujian lapangan yang memadai, yang seharusnya melibatkan pihak-pihak yang langsung terdampak oleh kebijakan tersebut"
Contoh paling nyata dari ketidaksiapan legislasi dalam merespons kebutuhan rakyat adalah masalah RUU Omnibus Law yang mengundang kontroversi. Komnas HAM menilai bahwa RUU tersebut gagal memenuhi prinsip partisipasi publik yang esensial dalam demokrasi. Sebagai tambahan, The Conversation Indonesia dalam artikelnya pada tahun 2021 mengungkapkan, "Pengesahan UU Cipta Kerja yang terburu-buru tanpa melibatkan suara masyarakat sipil berpotensi merugikan sektor pekerja dan lingkungan hidup, dua hal yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat"
Di sisi lain, negara-negara seperti Kanada dan Swedia memiliki mekanisme yang lebih baik dalam merancang undang-undang. Dalam jurnal "Public Policy and Administration" (2019), disebutkan bahwa public consultations yang diwajibkan oleh pemerintah Kanada sebelum pembahasan undang-undang baru dapat mempengaruhi substansi kebijakan secara signifikan. Peneliti di jurnal ini mengemukakan, "Mekanisme konsultasi publik di Kanada membantu mengurangi konflik sosial, meningkatkan kredibilitas, dan memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan lebih representatif"
Secara keseluruhan, pengembangan perundang-undangan yang responsif memerlukan mekanisme yang lebih transparan dan inklusif. Oleh karena itu, perlu ada dorongan untuk menciptakan open legislative processes yang mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat, termasuk mereka yang terdampak langsung oleh kebijakan tersebut.
Mengembangkan dan Mengevaluasi Program Sosial Secara Berkelanjutan
Program-program sosial di Indonesia sering kali terhambat oleh tantangan besar dalam hal efektivitas dan keterjangkauan. Sebagai contoh, World Bank (2021) dalam laporannya berjudul "Indonesia's Kartu Prakerja Program: Expansion Through Digital Transformation" menunjukkan bahwa meskipun program Kartu Prakerja memiliki dampak positif dalam meningkatkan keterampilan peserta, evaluasi independen menunjukkan adanya kesenjangan dalam hal pencapaian kelompok tertentu, terutama bagi warga lansia dan pekerja informal yang kesulitan mengakses platform digital. "Keterbatasan akses teknologi bagi beberapa kelompok marginal memperburuk ketidaksetaraan dalam partisipasi program ini,"
TNP2K (2022) dalam laporan "Evaluasi Dampak Program Sosial Terhadap Penanggulangan Kemiskinan" juga mengungkapkan bahwa meskipun beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) berhasil menurunkan angka kemiskinan secara keseluruhan, namun kesalahan data penerima masih menjadi masalah yang sangat besar. TNP2K melaporkan bahwa sekitar 30% penerima BLT yang terdaftar tidak termasuk dalam kategori miskin ekstrem menurut standar resmi kemiskinan. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa sistem yang lebih baik dalam pemetaan data kemiskinan, program sosial berisiko gagal mencapai sasaran yang tepat.
Keterlibatan masyarakat dalam proses evaluasi sangat penting untuk memperbaiki akurasi data dan merancang program yang benar-benar menyasar kebutuhan yang paling mendesak. Salah satu contoh yang bisa diadaptasi adalah sistem evaluasi berbasis real-time feedback yang diterapkan di Meksiko melalui program PROGRESA. Menurut penelitian dalam jurnal “World Development” (2018), PROGRESA berhasil meraih kesuksesan berkat adanya evaluasi program yang dilakukan secara berkesinambungan dan berbasis data yang akurat. "Dengan adanya evaluasi yang menyeluruh dan melibatkan masyarakat dalam feedback, program ini dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan dan memperbaiki efektivitasnya," jelas laporan tersebut.
Mendesain Model Pelayanan Publik yang Inovatif dan Inklusif
Pelayanan publik yang berkualitas adalah salah satu penunjang penting dalam pembangunan sosial yang berkelanjutan. Akan tetapi, di banyak daerah di Indonesia, pelayanan publik masih terhambat oleh keterbatasan sumber daya dan kualitas infrastruktur yang tidak memadai. Menurut laporan Ombudsman Republik Indonesia (2022), masyarakat seringkali mengeluhkan waktu tunggu yang lama, ketidakjelasan prosedur, dan ketidakmampuan sistem layanan dalam menangani kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda.
Laporan tersebut juga menyoroti adanya ketidakadilan dalam distribusi layanan. Misalnya, di wilayah-wilayah terpencil, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan masih terbatas. Hal ini berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat di daerah tersebut. Ombudsman Indonesia (2022) menyebutkan, "Keterbatasan infrastruktur dan kurangnya tenaga medis di daerah terpencil semakin memperburuk ketidaksetaraan pelayanan publik."
Namun, contoh baik datang dari Kulon Progo, DIY, yang meluncurkan program Puskesmas Proaktif, yang melakukan kunjungan langsung ke rumah-rumah masyarakat, terutama ibu hamil dan lansia. Dalam laporan Kompas (2020), program ini dikatakan berhasil menurunkan angka kematian bayi serta meningkatkan capaian imunisasi. "Pendekatan ini terbukti efektif karena menyesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat.
Di tingkat internasional, India berhasil menerapkan model Common Service Centres (CSC) untuk memberikan pelayanan publik di daerah-daerah terpencil. Menurut studi yang dilakukan oleh Harvard Kennedy School (2021), CSC telah mengurangi ketimpangan sosial dan meningkatkan transparansi dalam pelayanan publik. “Keberhasilan model ini terletak pada kesederhanaan dalam implementasi dan kemampuannya untuk melibatkan masyarakat lokal,” .
Mengembangkan Komite Penasehat dan Badan Kebijakan yang Partisipatif
Pentingnya melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan tidak dapat dipandang sebelah mata. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) adalah salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mempertemukan suara masyarakat dengan kebijakan pemerintah. Namun, seperti yang disoroti dalam penelitian oleh LIPI (2021), Musrenbang sering kali hanya berfungsi sebagai formalitas, karena usulan masyarakat tidak selalu diterima dalam perencanaan anggaran dan pembangunan. LIPI dalam laporan “Evaluasi Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah” mengungkapkan, "Musrenbang sering kali gagal dalam merealisasikan usulan masyarakat akibat keterbatasan kewenangan daerah dan keterbatasan dana Contoh positif datang dari Forum Anak Kota Bandung, yang telah terbukti berhasil menjadi saluran aspirasi bagi anak-anak dan remaja dalam merumuskan kebijakan ramah anak.
Menurut laporan UNICEF Indonesia (2022), Forum Anak Bandung telah berperan besar dalam mengusulkan kebijakan ramah anak yang kemudian diadopsi oleh pemerintah kota. Keterlibatan langsung anak-anak dalam pembuatan kebijakan publik memberikan dampak yang positif, meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya hak anak.
Selain itu, dalam kajian Participatory Budgeting yang diterapkan di Porto Alegre, Brasil, berhasil menunjukkan bagaimana inclusivity dalam perencanaan anggaran dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam jurnal World Development (2007), Wampler menuliskan, “Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan anggaran tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memperkuat rasa kepemilikan terhadap program pembangunan”
Analisis dan kutipan langsung dari berbagai jurnal serta laporan, kita dapat melihat bahwa reformasi sosial yang sukses memerlukan kebijakan yang responsif dan berbasis bukti. Dalam konteks Indonesia, perundang-undangan yang tidak melibatkan publik akan berisiko tidak efektif, sementara program sosial yang tidak dievaluasi dengan benar akan kehilangan fokus pada sasaran yang tepat. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk membuka ruang dialog yang lebih luas dalam setiap tahapan perencanaan, evaluasi, dan implementasi kebijakan.
Dengan mengambil pelajaran dari pengalaman internasional dan memperkuat mekanisme partisipatif di setiap level kebijakan, Indonesia bisa mempercepat proses pembangunan yang lebih inklusif dan adil.
Tidak ada komentar