Oleh: Dwi Anugrah Husni, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare P embahasan RUU TNI dan RUU Polri di DPR bukan sekadar soal a...
Oleh: Dwi Anugrah Husni, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare
Pembahasan RUU TNI dan RUU Polri di DPR bukan sekadar soal aturan teknis. Ini menyangkut fondasi demokrasi kita: bagaimana negara membatasi dan mengontrol kekuasaan aparatnya. Jika dua rancangan ini disahkan tanpa koreksi kritis, maka kita sedang membuka pintu bagi militer dan polisi untuk masuk terlalu jauh ke ranah sipil. Parahnya, di saat kepercayaan publik terhadap aparat sedang merosot akibat berbagai kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum, revisi ini justru bisa memperkuat dominasi aparat di luar fungsinya. Di sinilah peran perencana sosial sangat dibutuhkan: untuk menjadi suara kritis dan penyusun arah pembangunan yang berpihak pada rakyat.
Salah satu pasal bermasalah dalam RUU TNI adalah tentang diperbolehkannya tentara aktif menduduki jabatan sipil tanpa keluar dari militer. Ini jelas kemunduran dari semangat reformasi 1998, yang menghapus dwifungsi ABRI agar militer tak lagi mencampuri urusan sipil. Sementara itu, dalam RUU Polri, kekhawatiran publik muncul karena perluasan kewenangan intelijen dan pengawasan digital tanpa kontrol sipil yang ketat. Bila tak diawasi, hal ini bisa menjadi alat represi baru.
Di tengah diskursus hangat tentang revisi UU TNI dan Polri, publik seakan dihadapkan pada persimpangan: apakah demokrasi akan tetap dipertahankan, atau perlahan digerus lewat formalisasi kekuasaan militer dan kepolisian di ranah sipil? RUU tersebut membuka peluang bagi perwira aktif untuk menempati jabatan sipil, sebuah langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan pasca-Orde Baru. Situasi ini menjadi semakin mengkhawatirkan ketika berbagai skandal yang melibatkan aparat—terutama dalam kasus kekerasan seksual—tidak ditangani secara transparan. Ini bukan sekadar kasus personal, melainkan cermin dari kultur impunitas yang masih bercokol kuat dalam institusi. Keberadaan aparat yang tidak bisa disentuh hukum adalah ancaman langsung terhadap prinsip rule of law yang menjadi fondasi demokrasi.
Kita tidak sedang hanya membahas soal pelanggaran moral atau penyalahgunaan kekuasaan. Lebih dari itu, kita sedang melihat upaya sistemik yang bisa mempersempit ruang gerak masyarakat sipil, melemahkan kontrol sipil terhadap militer dan polisi, serta menormalisasi praktik kekuasaan yang tidak akuntabel. Masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, hingga organisasi HAM telah menyuarakan kekhawatiran ini. Namun tantangannya adalah bagaimana isu ini dapat benar-benar menggugah kesadaran publik luas. Di sinilah pentingnya kerja lintas sektor—termasuk peran media, institusi pendidikan, dan komunitas akar rumput—untuk menolak normalisasi pelanggaran dan menuntut reformasi nyata.
RUU TNI-Polri bukan hanya soal teknis penempatan jabatan, tetapi menyangkut masa depan demokrasi Indonesia. Bila aparat aktif dapat menduduki jabatan sipil tanpa mekanisme akuntabilitas yang ketat, maka batas antara sipil dan militer akan kabur. Dan ketika batas itu kabur, kebebasan sipil ikut terancam. Kini, tugas kita bukan hanya mengkritik, tetapi mendesak keterbukaan, mendorong partisipasi publik dalam setiap proses legislasi, dan memastikan bahwa demokrasi tidak dirampas secara diam-diam oleh segelintir elit atas nama stabilitas atau efisiensi birokrasi.
Di tengah pembahasan dua RUU ini, muncul pula sederet kasus yang menunjukkan betapa gentingnya kontrol terhadap aparat. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh kasus seorang oknum polisi di Sulawesi Selatan yang mencabuli sejumlah anak perempuan saat menjalani proses pemeriksaan. Kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah lain. Bahkan beberapa korban mengaku diintimidasi untuk bungkam. Ini bukan hanya soal moral individu aparat, tapi soal sistem pengawasan yang lemah.
Sebagaimana dikatakan Gus Dur, “Negara bukan milik tentara atau polisi, tetapi milik seluruh rakyat.” Kutipan ini relevan di tengah meningkatnya kewenangan aparat. Negara tidak boleh memberi kekuasaan yang tak diawasi. Terlebih ketika praktik penyalahgunaan wewenang oleh aparat—baik berupa kekerasan, korupsi, hingga pelecehan seksual—terus berulang. Perencana sosial seharusnya tidak hanya bicara soal data kemiskinan, pelatihan masyarakat, atau penyuluhan. Mereka harus mampu membaca arah kebijakan negara dan menilai dampaknya secara sosial. RUU TNI dan Polri bukan cuma soal hukum, tapi tentang potensi hilangnya ruang sipil, kebebasan warga, dan meningkatnya dominasi aparat dalam kehidupan masyarakat.
Data Komnas HAM tahun 2023 menunjukkan tren peningkatan aduan masyarakat terkait kekerasan dan intimidasi oleh aparat keamanan. Dalam kasus Wadas dan Rempang, warga diperlakukan seperti musuh negara hanya karena menolak penggusuran atau mempertahankan tanah leluhur. Kini, kasus pelecehan seksual oleh aparat menambah daftar panjang alasan mengapa kontrol sipil terhadap aparat harus diperkuat, bukan malah dilemahkan. Namun, dalam dinamika ini, peran perencana sosial sering tidak terdengar. Banyak yang larut dalam rutinitas proyek jangka pendek, laporan teknis, atau kegiatan yang jauh dari perdebatan strategis. Padahal, seperti diingatkan oleh sosiolog Anthony Giddens, “Kunci masyarakat modern bukan hanya kontrol, tapi kemampuan untuk merenung dan mengubah arah.” Refleksi kritis inilah yang harus menjadi napas kerja para perencana sosial.
Apakah mungkin perencana sosial ikut berperan dalam isu seperti ini?
Di banyak negara maju, seperti Belanda dan Swedia, perencana sosial terlibat langsung dalam kebijakan keamanan dan sosial. Mereka menjadi jembatan antara negara dan masyarakat, memastikan bahwa setiap kebijakan mempertimbangkan dampak sosial dan hak warga. Pendekatan ini menjamin bahwa kekuatan negara tidak mengorbankan kepercayaan publik. Di Indonesia, kita punya banyak tenaga ahli dari kampus dan lembaga sosial. Namun jika mereka memilih diam, atau menganggap isu keamanan bukan bidangnya, maka analisis sosial akan terus dikalahkan oleh pendekatan koersif dan kekuasaan sepihak. Ini berbahaya dalam jangka panjang.
Ketika kasus kekerasan dan pelecehan oleh aparat terjadi, dan pada saat yang sama kewenangan mereka diperluas lewat RUU yang kontroversial, maka yang sedang terancam bukan hanya hak warga, tapi masa depan demokrasi itu sendiri. Perencana sosial seharusnya tidak hanya memotret dampak setelahnya, tapi bertindak di awal—memberi masukan, menganalisis risiko sosial, dan membangun advokasi berbasis data.
RUU TNI dan RUU Polri tidak bisa dipandang sebagai urusan internal aparat. Ini menyangkut wajah negara kita: apakah demokratis dan berpihak pada rakyat, atau otoriter dan menindas. Di tengah krisis kepercayaan terhadap aparat akibat berbagai kasus kekerasan dan skandal cabul, memberi lebih banyak kuasa kepada institusi yang belum transparan adalah pilihan yang berbahaya. Perencana sosial harus turun tangan, tidak lagi diam di ruang rapat atau di balik dokumen proyek. Mereka harus bersuara, menulis, mengadvokasi, dan terlibat dalam menjaga agar kekuasaan tidak melampaui batas. Karena negara yang sehat bukan yang takut pada rakyatnya, tapi yang membangun kekuatannya dari kepercayaan dan partisipasi rakyat.
Jika kita diam hari ini, mungkin besok bukan hanya demokrasi yang hilang, tapi juga hak kita untuk bersuara. Saatnya memilih: jadi penonton atau penjaga perubahan.
Tidak ada komentar